10 Januari 2008

Jangan Putus Asa Dalam Berdo'a...

“Janganlah membuatmu putus asa dalam mengulang doa-doa, ketika Allah menunda
ijabah doa itu“
Ibnu Athaillah as-Sakandari mengingatkan kepada kita semua agar kita tidak berputus
asa dalam berdoa.Mengapa demikian? Karena nafsu manusia seringkali muncul ketika
Allah menunda ijabah atau pengabulan doa-doa kita. Dalam kondisi demikian manusia
seringkali berputus asa, dan merasa bahwa doanya tidak dikabulkan. Sikap putus asa itu
disebabkan karena manusia merasa bahwa apa yang dijalankan melalui doanya itu,
akan benar-benar memunculkan pengabulan dan Allah.Tanpa disadari bahwa ijabah itu
adalah Hak Allah bukan hak hamba. Dalam situasi keputusasaan itulah hamba Allah
cenderung mengabaikan munajatnya sehingga ia kehilangan hudlur (hadir) bersama
Allah.
Dalam ulasannya terhadap wacana di atas, Syekh Zaruq menegaskan, bahwa tipikal
manusia dalam konteks berdoa ini ada tiga hal:

Pertama, seseorang menuju kepada Tuhannya dengan kepasrahan total, sehingga ia
meraih ridha-Nya. Hamba ini senantiasa bergantung dengan-Nya, baik doa itu
dikabulkan seketika maupun ditunda. la tidak peduli apakah doa itu akan dikabulkan
dalam waktu yang panjang atau lainnya.

Kedua, seseorang tegak di depan pintu-Nya dengan harapan penuh pada janji-Nya dan
memandang aturan-Nya. Hamba ini masih kembali pada dirinya sendiri dengan
pandangan yang teledor dan syarat-syarat yang tidak terpenuhi, sehingga mengarah
pada keputusasaan dalam satu waktu, namun kadang-kadang penuh harapan optimis.
Walaupun hasratnya sangat ringan, toh syariatnya menjadi besar dalam hatinya.

Ketiga, seseorang yang berdiri tegak di pintu Allah namun disertai dengan sejumlah
cacat jiwa dan kealpaan, dengan hanya menginginkan keinginannya belaka tanpa
mengikuti aturan dan hikmah. Orang ini sangat dekat dengan keputusasaan, kadangkadang
terjebak dalam keragu-raguan, kadang-kadang terlempar dijurang kebimbangan.
Semoga Allah mengampuninya.


“Allahlah yang menjamin ijabah doa itu menurut pilihan-Nya padamu, bukan menurut
pilihan seleramu, kelak pada waktu yang dikehendaki-Nya, bukan menurut waktu yang
engkau kehen-daki.”
Seluruh doa hamba pasti dijamin pengabulannya. Sebagaimana dalam firman Allah :
“Berdoalah kepada-Ku, niscaya Aku akan mengabulkan bagimu. “
Allah menjamin pengabulan itu melalui janji-Nya. Janji itu jelas bersifat mutlak. Hanya
saja dalam ayat tersebut Allah tidak menfirmankan dengan kata-kata, “menurut
tuntutanmu, atau menurut waktu yang engkau kehendaki, atau menurut kehendakmu itu
sendiri.”
Dalam hadits Rasutullah SAW bersabda: “Tak seorang pun pendoa, melainkan ia berada
di antara salah satu dari tiga kelompok ini: Kadang ia dipercepat sesuai dengan
permintaannya, atau ditunda (pengka-bulannya) demi pahalanya, atau ia dihindarkan
dari keburukan yang menimpanya.” (HR. Imam Ahmad dan AI-Hakim).
Dalam hadits lain disebutkan, “Doa di antara kalian bakal di ijabahi, sepanjang kalian
tidak tergesa-gesa, (sampai akhirnya) seseorang mengatakan, “Aku telah berdoa, tapi
tidak diijabahi untukku. “ (HR. Bukhari-Muslim)
Dalam menafsiri suatu ayat “Telah benar-benar doa kalan berdua di ijabahi” maksudnva
baru 40 tahun diijabahi doanya. Menurut Syekh Abul Hasan asy-Syadzili, perihal firman
Allah: “Maka hendaknya kalian berdua istiqamah”, maksudnya adalah “tidak tergesagesa”.
Sedangkan ayat, “Dan janganlah kalian mengikuti jalannya orang-orang yang
tidak mengetahui”, maksudnya adalah orang-orang yang menginginkan agar
disegerakan ijabah doanya. Bahwa ijabah doa itu diorientasikan pada pilihan Allah, baik
dalam bentuk yang riil ataupun waktunya, semata karena tiga hal:

Pertama, karena kasih sayang dan pertolongan Allah pada hamba-Nya. Sebab Allah
Maha Murah, Maha Asih dan Maha Mengetahui. Dzat Yang Maha Murah apabila
dimohon oleh orang yang memuliakan-Nya, ia akan diberi sesuatu yang lebih utama
menurut Kemahatahuan-Nya. Sementara seorang hamba itu pada dasarnya bodoh
terhadap mana yang baik dan yang lebih bermashlahat. Terkadang seorang hamba itu
mencintai sesuatu padahal sesuatu itu buruk baginya, dan terkadang ia membenci
sesuatu padahal yang dibenci itu lebih baik baginya. Inilah yang seharusnya difahami
pendoa.

Kedua, bahwa sikap tergantung pada pilihan Allah itu merupakan sikap yang bisa
mengabadikan hukum-hukum ubudiyah, di samping lebih mengakolikan wilayah
rububiyah. Sebab manakala suatu ijabah doa itu tergantung pada selera hamba dengan
segala jaminannya, niscaya doa itu sendiri lebih mengatur Allah. Dan hal demikian suatu
tindakan yang salah.

Ketiga, doa itu sendiri adalah ubudiyah. Rahasia doa adalah menunjukkan betapa
seorang hamba itu serba kekurangan. Kalau saja ijabah doa itu menurut keinginan
pendoanya secara mutlak, tentu bentuk serba kurang itu tidak benar. Dengan demikian
pula, rahasia taklif (kewajiban ubudiyah) menjadi keliru, padahal arti dari doa adalah
adanya rahasia taklij'itu sendiri.

“Janganlah membuat dirimu ragu pada janji Allah atas tidak terwujudnya sesuatu yang
dijanjikan Allah, walaupun waktunya benar-benar nyata.”
Maksudnya, kita tidak boleh ragu pada janji Allah. Terkadang Allah memperlihatkan
kepada kita akan terjadinya sesuatu yang kita inginkan dan pada waktu yang ditentukan.
Namun tiba-tiba tidak muncul buktinya. Kenyataan seperti itu jangan sampai membuat
kita ragu-ragu kepada janji Allah itu sendiri. Allah mempunyai maksud tersendiri dibalik
semua itu, yaitu melanggengkan rububiyah atas ubudiyah hamba-Nya. Syarat-syarat
ijabah atasjanji-Nya, terkadang tidak terpenuhi oleh hamba-Nya. Karena itu Allah pun
pernah menjanjikan pertolongan kepada Nabi-Nya Muhammad SAW dalam perang
Uhud dan Ahzab serta memenangkan kota Mekkah. Tetapi Allah menutupi syarat-syarat
meraih pertolongan itu, yaitu syarat adanya sikap “merasa hina” di hadapan Allah yang
bisa menjadi limpahan pertolongan itu sendiri. Sebab Allah berfirnian dalam At-Taubah:
“Allah benar-benar menolongmu pada Perang Badar, ketika kamu sekalian merasa hina
“.
Kenapa demikian? Sebab sikap meragukan janji Allah itu bisa mengaburkan pandangan
hati kita terhadap karunia Allah sendiri. As-Sakandari meneruskan:
“Agar sikap demikian tidak mengaburkan mata hatimu dan meredupkan cahaya rahasia
batinmu”.
Bahwa disebut di sana padanya pengaburan mata hati dan peredupan cahaya rahasia
batin, karena sikap skeptis terhadap Allah itu, akan menghilangkan tujuan utama dan
keleluasaan pandangan pengetahuan dibalik janji Allah itu.

Tidak ada komentar: